Ustaz Adi Hidayat Menjawab Kegelisahan Para Pekerja Migran Indonesia di Tokyo
Repost : REPUBLIKA.CO.ID, Air mata lelaki itu meremang saat berbicara. Di tengah kelimun jamaah Masjid Tokyo Camii, pria berjaket tersebut menyampaikan hal yang mungkin sudah lama dipendamnya. Seolah beroleh momentum, dilontarkannya pertanyaan meski dengan terbata-bata.
Ustaz Adi Hidayat, pembicara pada tablig akbar itu, tampak serius menyimak ujaran. Dengan penuh empati, Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah tersebut sesekali membantu penanya yang sesenggukan menemukan kata yang tepat. Pertanyaan pada sesi tanya jawab itu berkisar pada hukum bekerja di perusahaan produsen atau penjual produk haram.
Di Jepang, topik seputar tantangan beribadah memang menjadi hal yang menarik perhatian pekerja muslim Indonesia. Pertanyaan salah satu anggota jamaah itu melengkapi soal populer lain yang disampaikan secara daring oleh sejumlah peserta tablig akbar, yakni mengenai kesulitan melaksanakan sholat di Negeri Sakura lantaran tuntutan pekerjaan dengan disiplin waktu yang ketat.
Menurut Ustaz Adi Hidayat, dalam konteks ibadah, seorang muslim harus menempatkan diri sebagai hamba di hadapan Allah Swt. Sebab, saat status hamba itu disadari dan dijalankan dengan penuh kerendahan, Allah Swt pasti memberikan perhatian kepada orang tersebut.
Artinya, lanjut Ustaz Adi, saat seorang muslim mengakui diri sebagai hamba dan melaksanakan kewajibannya, seperti bersholat, Allah Swt pasti mengangkat derajatnya. Sholat, ujarnya kemudian, merupakan ibadah yang sangat penting.
“Sholat itu adalah identitas penghambaan kita kepada Allah,” ungkap ustaz yang akrab di sapa UAH saat menyampaikan ceramah pada tablig akbar di Masjid Tokyo Camii, beberapa waktu lalu.
Dengan begitu, kata Ustaz Adi, seorang hamba harus yakin dan memiliki keinginan, tekad, dan niat untuk bersholat. Sebab, dengan melaksanakan sholat, derajat seseorang akan diangkat oleh Allah Swt.
“Jadi, ingin atau iradah saja tidak cukup. Diperlukan tekad atau azam dan niat untuk sholat. Begitu niat sudah melekat, sholat akan menjadi prioritas,” tutur Ustaz Adi di acara yang digagas oleh Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Muhammadiyah Jepang, Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII), YUAI, Ainul Yaqeen, dan Masjid Istiqlal Osaka.
Selanjutnya, kata Ustadz Adi, apabila seorang muslim kesulitan bersholat karena pekerjaan, lihat peluang yang ada di sekitar. Seorang muslim itu dapat membuka diskusi atau konsultasi dengan atasan perihal sholat yang dapat menambah energi dalam bekerja.
“Sampaikan dengan penjelasan yang logis ke atasan bahwa dengan melaksanakan sholat kita justru lebih bersemangat sehingga dapat meningkatkan kinerja di pekerjaan. Itulah yang dimaksud dengan menyampaikan penjelasan dengan hikmah,” ungkapnya di acara tablig akbar bertema “Sambut Bulan Keberkahan, Tingkatkan Iman dan Persatuan”.
Apabila tahapan tersebut belum cukup meyakinkan atasan, kata Ustaz Adi, seorang muslim dimungkinkan untuk memosisikan dirinya berada dalam kedaruratan. Artinya, dia dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang ada di Jepang.
Caranya, ungkap Ustaz Adi, dapat dengan mendekatkan waktu pelaksanaan sholat, seperti dzuhur yang dikerjakan di akhir waktu dan ashar yang dilakukan di awal waktu. Opsi yang memungkinkan lainnya, seorang muslim dapat menggabungkan dua shalat yang secara hukum agama bisa dijamak.
“Namun, kalau memungkinkan mencari pekerjaan yang memudahkan Anda untuk bersholat, itu lebih baik. Sebab, sholat dapat mendatangkan berkah,” ucap Ustaz Adi di hadapan 800 lebih anggota jamaah yang hadir secara luring.
Berkaitan dengan topik bekerja di perusahaan produsen atau penjual produk haram, Ustaz Adi Hidayat menegaskan bahwa Islam secara tedas mengategorikan yang halal dan yang haram. Kalau ada keraguan atau sesuatu yang syubhat, hendaknya seorang muslim meninggalkan hal tersebut.
Dalam konteks perusahaan menjual daging babi atau minuman beralkohol, kata Ustaz Adi, hukumnya haram bagi pekerja muslim bekerja di sana apabila produk itu dijual untuk orang-orang muslim. Jika produk tersebut dijual kepada orang-orang non-muslim, hukumnya makruh, selama pekerja muslim itu belum menemukan pekerjaan pengganti.
Pada prinsipnya, ungkap Ustaz Adi, seorang muslim harus mencari pekerjaan yang baik dan tidak bermasalah. Dia harus memiliki keyakinan bahwa bekerja di mana pun tidak akan mengurangi rezekinya.
“Sebab, rezeki itu sudah ditetapkan oleh Allah dan ia mengiringi kita sampai ajal,” katanya.
Ustaz Adi Hidayat menjawab kegelisahan para pekerja migran terkait tantangan beribadah di Jepang. – (Dok Pribadi)
Tanggapan jamaah
Bagi sebagian besar anggota jamaah yang hadir di Masjid Tokyo Camii, penjelasan UAH merupakan tambar bagi kegelisahan. Mereka seakan beroleh jawaban atas pertanyaan keagamaan yang selama ini disimpannya.
Wafi, pekerja asal Indonesia yang sudah bermukim di Jepang selama dua tahun, mengibaratkan kaul Ustaz Adi sebagai siraman rohani. Dari penjelasan UAH, dia seperti beroleh pencerahan, terutama dari topik yang berkaitan dengan sholat.
“Selama ini saya memang gelisah dengan praktik sholat saya selama bekerja dan tinggal di Jepang. Namun, setelah mendengar ceramah tadi, saya merasa seperti mendapat siraman (rohani) yang menenangkan,” kata lelaki yang tinggal di Prefektur Saitama.
Pendapat senada juga diutarakan Pebri yang sudah 10 tahun bekerja di Negeri Sakura. Menurut dia, penjelasan Ustaz Adi telah diterapkan dalam praktik bershalatnya selama ini. Namun, perempuan yang tinggal di Prefektur Kanagawa itu tidak terlalu yakin apakah praktik sholatnya benar secara hukum atau tidak.
“Ceramah tadi memperkuat keyakinan saya dan makin menambah semangat saya dalam menjalankan ibadah secara benar di Jepang,” ucapnya usai menghadiri tablig akbar UAH di Masjid Camii.
Oleh: Asep Wijaya, Penulis yang bermukim di Jepang
Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jepang