OLEH IMAS DAMAYANTI
(Reporter Republika)
Citra Islam di mata warga dunia belum pulih benar. Meski demikian, banyak momentum yang membuat citra Islam perlahan bangkit di tengah pandangan ‘nyinyir’ segelintir media.
Ketua PCI Muhammadiyah Amerika Serikat Halbana Tarmizi Taher mengatakan, masih ada warga yang menilai Islam dengan citra negatif, tetapi mereka bersifat tidak homogen. Menurut dia, masih banyak yang melihat Islam sebagai nilai positif sehingga memperkaya keragaman masyarakat di Amerika.
“Di saat yang sama tentunya masih ada yang berpandangan negatif terhadap Islam, terutama di masyarakat yang mungkin jarang atau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang Muslim di kehidupan mereka sehari-hari,”ujar Halbana saat dihubungi Republika, Jumat (6/1).
Menurut Halbana, mereka mendapatkan informasi tentang Islam terutama dari media. Pihak media setempat kerap menyertakan kata ‘Islam’ atau ‘Muslim’ atau ‘jihadist’ jika ada berita tentang tindakan kriminal yang dilakukan oleh seorang Muslim. Contoh terakhir adalah peristiwa di acara tahun baru yang lalu di Times Square, New York City. Hal itu memberikan gambaran negatif tentang Islam bagi mereka yang mengenal Islam hanya dari media massa.
Adapun faktor utama yang mempengaruhi citra Islam di Amerika Serikat adalah perilaku orang Muslim di komunitas mereka berada. Jika masyarakat melihat umat Islam berperilaku baik, kata dia, tentunya citra Islam akan positif di tengah masyarakat.
Pada dasarnya di dalam Undang undang Dasar Amerika disebutkan untuk memberikan kebebasan kepada penganut agama (termasuk Islam) untuk menjalankan ajaran agamanya (ibadahnya). Pada amendemen pertama di Konstitusi negara Amerika disebutkan: “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof…”
“Ini melarang pembuatan undang-undang atau aturan yang melarang pelaksanaan praktik agama (ibadah). Jadi di Amerika tidak bisa dibuat larangan seperti di Prancis tentang larangan pemakaian jilbab di sekolah. Saya bisa katakan, orang Muslim mendapat kebebasan untuk menjalankan ibadahnya di sini, tinggal kita yang mau menjalankannya atau tidak,” ujar dia.
Meski citra Islam dapat dikatakan membaik, tapi Islamofobia masih terasa. Islamofobia sudah menjadi semacam industri di mana ada pihak yang menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian dengan menjadi pembicara atau lewat penjualan buku dan lainnya. Terkadang, ujar dia, upaya menjelekkan Islam dijadikan komoditas politik menjelang pemilu oleh politikus partai tertentu.
“Masih ada juga masjid yang dijadikan sasaran perusakan seperti yang terjadi beberapa bulan lalu terhadap dua masjid di dekat tempat kami tinggal di negara bagian Minnesota. Walaupun secara keseluruhan, saat ini iklimnya jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu,” ujarnya.
Untuk itu, dalam memberikan wajah Islam yang makin baik, diperlukan dakwah yang baik. Halbana melihat bahwa dakwah yang paling efektif adalah dakwah dengan menunjukkan perilaku terbaik sebagai seorang Muslim. Baik itu di lingkungan tinggal, di lingkungan sekolah, dan lingkungan kerja. “Setiap Muslim di negeri ini menjadi duta bagi agama Islam. Dengan ini, kita bisa memperbaiki persepsi masyarakat di sini tentang Islam,” ujarnya.
Dia pun menggarisbawahi pentingnya dialog lintas agama. Sebagai kelompok minoritas di negeri ini, umat Islam dinilai harus membangun aliansi dengan kelompok agama-agama lain. Jika ada orang atau kelompok yang menjelekkan Islam, mereka yang terlibat dalam ‘interfaith’ dialog dengan umat Islam akan memberi dukungan.
Selain itu, tambahnya, Muslim di Amerika harus berperan aktif dalam kegiatan di masyarakat. Mereka harus terlibat dalam kegiatan sosial seperti membantu kaum miskin atau relawan untuk kegiatan sosial lainnya.
“Alhamdulillah, Muslim sudah banyak terwakili dibeberapa level pemerintahan termasuk sebagai anggota DPR (Congress) dan DPRD (tingkat provinsi)”HALBANA TARMIZI TAHER Ketua PCI Muhammadiyah AS
Saluran lainnya adalah jalur politik. Di Amerika, hampir semuanya dilakukan melalui pemilihan umum, mulai dari presiden, gubernur, wali kota, anggota dewan, sampai hakim, jaksa, kepala kepolisian daerah (Sheriff), pengurus atau dewan sekolah (school board).
Partisipasi di perpolitikan mulai dari tingkat yang paling rendah bisa menjadi ajang dakwah bagi Muslim. “Dan Alhamdulillah, Muslim sudah banyak terwakili di beberapa level pemerintahan termasuk sebagai anggota DPR (Congress) dan DPRD (tingkat provinsi),” ujarnya.
Dia menegaskan, Muslim yang baik adalah mereka yang dapat merepresentasikan citra Islam di Amerika. Mereka mempunyai komitmen terhadap agama, yakni menjalankan perintah Allah SWT dan sukses dalam karier pekerjaannya.
“Alhamdulillah, salah satu contohnya adalah banyak orang Muslim yang berprofesi sebagai dokter di sini. Profesi dokter adalah salah satu profesi yang sangat terpandang,” jelas dia.
Muslim di Jepang
Ketua PCI Muhammadiyah Jepang Ridwan Wicaksono mengatakan, Islam di Jepang perlahan tapi pasti sudah diakui dan masuk dalam bagian masyarakat Jepang. Berbagai masjid di daerah kota telah didirikan sebagai sarana penunjang syiar dan dakwah islam.
“Contohnya di daerah kami Chiba, ada Chiba Islamic Cultural Center (CICC) menyelenggarakan kegiatan “tonari no muslim”, program ramah tamah dengan tetangga yang beragama lain,” ujar Ridwan saat dihubungi Republika, Kamis (5/1/2023).
Melalui program ini, Islam dikenalkan secara baik dan menyeluruh. Banyak masyarakat Jepang yang melihat Islam sebagai agama yang santun, bermanfaat, bahkan sesuai dengan budaya Jepang dalam beberapa hal. Islam pun perlahan diterima oleh masyarakat Jepang.
Namun demikian, kata dia, mayoritas masyarakat Jepang masing menganggap umat Islam itu “kibishi” atau ketat aturan. Persentase umat Islam di Jepang sangat kecil, yakni sekitar 1 persen dan masih didominasi kaum imigran dan pelajar asing.
Beberapa faktor utama yang berpengaruh terhadap citra Islam adalah persoalan makanan halal, waktu dan tempat shalat, serta pakaian. Tiga hal tersebut yang paling mudah diidentifikasi oleh masyarakat Jepang untuk menentukan status Muslim.
Sebenarnya, dia mengatakan, ketiga faktor tersebut tidak mengganggu dan tak terlalu dipedulikan masyarakat Jepang. Namun, ketika ada permintaan khusus dalam acara bersama, seorang Muslim perlu menyampaikan dengan adab dan bahasa yang baik.
Contohnya saat meeting dan perlu menunaikan shalat Jumat atau permintaan makanan halal dan alat saji yang terpisah. Saat ini, kata dia, banyak kalangan sudah memahami kebutuhan umat Islam, sehingga banyak ditemui toko-toko yang sengaja menyiapkan makanan halal, tempat shalat di universitas, bahkan salon khusus muslimah.
Di samping itu, faktor pendukung yang membentuk citra Islam adalah pergaulan dan interaksi sosial yang memperlihatkan Islam bukanlah agama menakutkan. Karena itu, umat Islam di kawasan padat penduduk sudah melebur dengan aktivitas warga Jepang secara umum sehingga kesan Islamofobia sudah tereduksi.
“Ada ‘basic rule’ yang dimiliki warga Jepang, yang mana sebenarnya selaras dengan akhlak muamalah Islam.”RIDWAN WICAKSONO Ketua PCI Muhammadiyah Jepang
Yang menjadi persoalan adalah kelompok masyarakat yang tidak melek informasi dan masih merekam kejadian teror yang yang dilakukan sebagian golongan orang Islam. Kesan ini biasanya menempel pada mereka yang tertutup dalam pergaulan.
Namun demikian, dia mengatakan, suburnya pendirian masjid di berbagai wilayah di Jepang menunjukkan mayoritas warga Jepang sudah menerima Islam dengan baik.
Dakwah Islam di Jepang memiliki kekhasan tersendiri. Menurutnya, mayoritas orang Jepang tidak melihat Islam dari teks buku atau majalah, tapi dari personaliti Muslim itu sendiri. “Ada ‘basic rule’ yang dimiliki warga Jepang, yang mana sebenarnya selaras dengan akhlak muamalah Islam. Contohnya, hidup bersih dan disiplin, menjaga lingkungan dari sampah, hidup sehat dan seimbang, profesional, jujur setulus hati, selalu berusaha menjadi lebih baik, serta menjaga harmoni,” jelas dia.
Sumber utama :
https://republika.id/posts/36181/perbaiki-citra-islam-di-tengah-islamofobia?utm_source=whatsapp
Terima kasih untuk informasinya, sangat berguna bagi saya