Beberapa waktu lalu, warganet dibuat heboh dengan dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada keluarga pesohor. Kehebohan muncul lantaran kabar tidak sedap itu berasal dari salah satu pasangan aktris yang dianggap paling romantis.

Sontak percakapan di media sosial menjadi riuh. Pertanyaan dan respons pun bermunculan. Di antaranya mempertanyakan alasan terjadinya dugaan kekerasan dan cara agar terhindar dari praktik tercela itu.

Konselor keluarga, Ustadz Cahyadi Takariawan, memiliki kiat agar relasi keluarga dapat terhindar dari KDRT. Cara tersebut diyakini sangat ampuh dan dapat diterapkan lantaran bersumber dari Al-Qur’an.

Menurut penulis buku Wonderful Marriage itu, cara terbaik membangun keluarga-tanpa-KDRT menurut Al-Qur’an tidaklah sulit. Yang diperlukan adalah menyetel cara pandang seseorang mengenai hubungan suami-istri ke dalam lima sikap berikut.

Pertama, relasi sebagai pasangan. Dasar dari sikap tersebut adalah Surah Ar-Rum ayat 21. Selama suami/istri menganggap istri/suaminya sebagai pasangan, dia akan senantiasa hidup saling melengkapi dan mengisi.

“Secara psikologis, pemahaman akan sikap itu akan membuat pasangan senantiasa menutupi kekurangan masing-masing sehingga tercipta hubungan keluarga yang penuh damai,” ungkapnya pada webinar yang diselenggarakan secara daring oleh Kalam Momiji, sebuah forum komunikasi di Jepang.

Namun, apabila suami-istri menganggap pasangannya sebagai lawan, seperti halnya terminologi lawan jenis, meski secara jenis kelamin memang berbeda, perspektif itu akan membawa pasangan pada sikap saling berlawanan dan cenderung bertentangan.

“Dampaknya kemudian, suami-istri cenderung berfokus pada kekurangan diri masing-masing yang apabila terjadi percekcokan, keduanya akan melancarkan aksi saling serang kekurangan,” ujarnya.

Kedua, relasi kepemimpinan. Sikap yang berlandaskan Surah An-Nisa’ ayat 34 itu kerap disalapahami dan dijadikan tameng untuk sikap otoriter suami. Padahal, konsep ar-rijalu qawwamuuna ala-n-nisa’ memuat pesan bahwa suami wajib menafkahi, membela, dan melindungi istrinya.

“Kalau sampai ada suami yang melukai dan mencederai istrinya, itu justru bertentangan dengan maksud ayat Al-Qur’an di atas,” ucapnya.

Ketiga, perspektif relasi kelekatan. Menurut Surah Al-Baqarah ayat 187, relasi suami-istri bukan hubungan yang berkasta atau seperti relasi atasan dengan bawahan. Hubungan yang terjadi semestinya relasi kelekatan perasaan, kedekatan pemikiran, dan kelekatan badan, seperti saat kita mengenakan pakaian.

“Bukankah pakaian yang kita kenakan merupakan bahan yang nyaman sehingga ia diperkenankan untuk melekat pada tubuh kita? Seperti itulah relasi suami-istri: lekat yang membuat nyaman,” ungkapnya.

Keempat, perspektif relasi kesenangan. Sikap tersebut seturut amanat yang tertuang dalam Surah Al-Baqarah ayat 223. Makna kesenangan di sini tidak berarti menjadikan istri sebagai objek seksualitas yang dapat digauli dengan cara yang serampangan.

“Prinsip yang harus dipegang adalah kondisi kesalingan atau saling menyenangkan, bukan kesenangan pada satu pihak,” ucapnya.

Kelima, perspektif relasi yang melegakan. Sikap itu tertuang secara jelas pada Surah An-Nisa’ ayat 19 yang memuat lima pesan.

“Pertama, tidak boleh memaksa istri. Kedua, tidak saling menyusahkan. Ketiga, berinteraksi dengan cara yang baik dan menyenangkan. Keempat, berfokuslah pada kebaikan pasangan. Kelima, toleran dan bersabar atas hal yang tidak disukai dari pasangan,” paparnya.

Apabila lima hal yang bersumber dari Al-Qura’an di atas dapat dijadikan perspektif dan diterapkan dalam memandang relasi suami-istri, insya Allah pelbagai jenis KDRT, baik yang bersifat fisik maupun psikis, dapat dihindarkan.

Wallahua’lam bissawab

*Artikel ini merupakan ringkasan kajian dan bukan dimaksudkan sebagai pengganti dari kajian yang disampaikan secara lisan. Ia hanya semata bertindak sebagai pemantik agar pembaca berkenan menyimak kajian lengkapnya di saluran YouTube Kalam Momiji.

Penulis: Asep Wijaya

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *